Humanisasi artinya proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai
dengan kodratnya sebagai manusia. Sedangkan dehumanisasi mempunyai arti
sebaliknya, yakni proses menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodratnya
sebagai manusia. Dua istilah tersebut bermakna sebagai lawan kata.
Humanisasi pada dasarnya merupakan proses pemberdayaan masyarakat
melalui ilmu pengetahuan. Jika dalam hubungannya dengan kesadaran manusia dan
dunia pendidikan yang dilihat sebagai bentuk dominasi menganggap kesadaran
manusia semata-mata merupakan wadah kosong yang harus diisi, sedangkan
pendidikan sebagai praktik pembebasan dan humanisiasi memandang kesadaran
sebagai suatu hasrat (intention) terhadap dunia.
Dehumanisasi merupakan suatu proses yang menjadikan manusia tidak
sesuai dengan kodratnya sebagai manusia,melainkan hanya bisa menirukan atau
melaksanakan sesuatu yang di ukur dengan apa yang di milikinya dalam bentuk
tertentu. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang pengertian
humanisasi dan dehumanisasi, berikut ini akan diberikan contoh sederhana.
Ketika ada praktik pendidikan yang memberlakukan anak manusia
sebagai burung beo, dimasukkan ke dalam kandang atau tempat yang berjeruji,
dengan proses pelatihan agar anak manusia itu dapat menirukan atau dapat
melaksanakan sesuai dengan instruksi tertentu, maka praktik pendidikan ini
dapat dikategorikan sebagai proses dehumanisasi dalam pendidikan. Sama halnya
dengan praktik pendidikan yang memandang anak manusia sebagai obyek didik, yang
dapat diperintah seenaknya seperti robot dengan satu-satunya metode
indotrinasi, yang memandang peserta didik sebagai masukan kasar (raw input) seperti
halnya gandum yang akan diproses dalam proses produksi massal di sebuah pabrik
roti, dan produksinya memiliki standar kualitas yang sama dan seragam, maka
praktik pendidikan seperti itu sudah menjadi atau minimal dipengaruhi oleh
proses dehumanisasi pendidikan. Jika proses pendidikan dilakukan tanpa
memperhatikan perbedaan individual anak, baik perbedaan dari aspek fisik maupun
mentalnya, maka proses pendidikan seperti itu dapat dikategorikan sebagai
dehumanisasi pendidikan.
Jadi, sebenarnya praktik dehumanisasi boleh jadi tidak dalam bentuk
kebijakan pemerintah, melainkan dapat saja muncul dari praktik pelaksanaan
pembelajaran, atau dari proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sudah
barang tentu, malpraktik pendidikan atau pelanggaran hak asasi manusia dalam
pendidikan dapat disebut sebagai dehumanisasi dengan berbagai tingkatannya.
Sebagaimana kita fahami selama ini, yang seharusnya pendidikan harus menjadi
proses humanisasi manusia, karena manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat
mendidik dan didik (educandum dan educabile).
Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini masih sering terjadi
praktik pendidikan yang membelenggu kebebasan hakiki manusia. Tidak jarang juga
terjadi praktik pendidikan yang memperlakukan anak didik tidak lebih sebagai pelayan
dengan menempatkan posisi pendidik sebagai tuannya.
Pendidikan yang humanis adalah berfokus pada peserta didik, yaitu
yang menghargai keragaman karakteristik mereka, berusaha mengembangkan potensi
masing-masing dari mereka secara optimal, mengembangkan kecakapan hidup untuk
dapat hidup selaras dengan kondisi pribadi dan lingkungan, memberikan bantuan
untuk mengatasi kesulitan pribadi termasuk belajar, serta dengan menggunakan
berbagai cara untuk mengetahui dan menilai kemajuan belajar mereka
masing-masing.
Pendidikan adalah media kultural untuk membentuk manusia. Kaitan
antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Kata
Driyarkara, pendidikan adalah humanisasi, yaitu sebagai media dan proses
pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (humanior).
Jalan yang ditempuh tentu menggunakan jalur kultural. Tidak boleh ada model
kapitalisasi pendidikan atau politisasi pendidikan. Karena, pendidikan secara
murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian
kemanusiaan. Sebenarnya konsep pendidikan yang bercirikan humanis telah cukup
banyak dikemukakan oleh para pendidik. Beberapa tokoh pendidikan humanis antara
lain :
1.
Jan Komensky
Jan Komensky (Comenius 1592-1970) seorang pendidik yang berasal
dari Moravia, dan memperoleh pendidikan tinggi di Jerman. Komensky berpendapat
bahwa :
a.
Lingkungan sekolah harus didasarkan pada prinsip pertumbuhan dan
perkembangan anak secara wajar,
dengan memperbolehkan berbagai
kegiatan yang sesuai;
b.
Pengajaran harus berlangsung dalam suasana yang menyenangkan,
antara lain dengan menggunakan bahasa yang dikenal dan mempresentasikan obyek
yang dikenal pula.
Pendapatnya ini antara lain diwujutkan dengan ditulisnya bukau
Orbis Sensalium Pictus (Dunia dalam Gambar). Buku tersebut lebih banyak
merupakan buku pelajaran bahasa, dengan memberikan rangsangan visual berupa
gambar (misalnya gambar seseorang sedang memancing ikan) dengan penjelasan atas
masing-masing obyek dalam gambar tersebut
dengan istilah Latin
dan bahasa keseharian.
Perlu diperhatikan bahwa Komensky menekankan pada perlunya ada
rangsangan indera untuk belajar.
2.
Johann Pestalozzi
Johann Pestalozzi (1747
-1827) adalah seorang
pendidik Swiss yang berpendapat
bahwa pada hakekatnya semua manusia itu terlahir dengan baik, tetapi dapat
rusak tertular oleh masyarakat yang koruptif, yang tercermin antara lain dengan
sekolah tradisional yang membosankan dengan hanya menekankan pada pengulangan
dan penghafalan. Sekolah tradisional harus dirombak; perombakan ini akan mampu
menjembatani perubahan sosial.
Belajar menurut Pestalozzi
terjadi karena adanya rangsangan penginderaan. Ia juga
berpendapat bahwa pembelajaran harus mengikuti perkembangan alamiah : konkrit
ke abstrak, lingkungan dekat ke jauh, mudah ke sukar, gradual dan kumulatif.
3.
Friedrich Froebel
Friedrich Froebel (1782 - 1852) merupakan seorang pendidik Jerman
yang sangat dikenal dengan
konsep pendidikan bagi
anak usia dini
yang disebut kindergarten. Yang
agak mengherankan kita adalah bahwa Froebel memulai karirnya sebagai seorang
rimbawan, kimiawan, dan kemudian sebagai kurator musem, sebelum akhirnya terjun
dalam dunia pendidikan.
Sejalan dengan Pestalozzi, Froebel menekankan pada perlunya
perubahan dalam cara mengajar. Cara mengajar yang sebaiknya adalah yang
berbasis pada aktivitas diri, karena itu perlu diciptakan dan dikelola
lingkungan yang sesuai (termasuk bermain, menyanyi, menggambar, berkarya dsb.
pada saat anak mulai mengikuti pendidikan). Kecuali itu pendidikan harus
berlangsung dengan memperhatikan harga diri siswa, dan dengan memberikan contoh
mengenai nilai-nilai luhur yang perlu dijunjung.
4.
John Dewey
John Dewey (1859 - 1952) dianggap sebagai Bapak pendidikan Amerika
Serikat. Sebelumnya, praktek pendidikan di AS didasarkan pada konsep dan
gagasan yang dilahirkan oleh ahli-ahli dari Eropa. Menurut Dewey, pendidikan
merupakan proses sosial dimana
anggota masyarakat yang
belum matang (terutama
anak-anak) diajak ikut partisipasi dalam masyarakat.
Tujuan pendidikan adalah memberikan kontribusi dalam
perkembangan pribadi dan
sosial seseorang, melalui
pengalaman dan pemecahan masalah yang berlangsung secara
reflektif. Dewey juga terkenal dengan metode ilmiah yang dikenal dengan metode
reflektif (reflective method). Metode itu berlangsung dengan langkah-langkah
berikut :
a.
Pemelajar (learner) mempunyai pengalaman langsung dari
keterlibatannya dalam suatu
kegiatan yang diminati;
b.
Berdasarkan pengalaman
tersebut pemelajar mempunyai
masalah khusus yang
merangsang pikirannya;
c.
Pemelajar mempunyai atau
mencari informasi yang
diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut;
d.
Pemelajar mengembangkan berbagai kemungkinan dan solusi tentatif
untuk memecahkan masalah; dan
e.
Pemelajar menguji kemungkinan dengan jalan menerapkannya untuk
memecakan masalah. Dan dengan demikian pemelajar akan menemukan sendiri
keabsahan temuannya.
5.
Ivan Illich
Ivan Illich (1926 - 1990) adalah seorang imam Katolik yang semula
bertugas membina umat pastoral warga Puerto Rico di kota New York. Ia merupakan
kritikus pendidikan yang dianggap radikal. Sewaktu dia bertugas di Mexico, dia
meluncurkan pendapatnya tentang masyarakat
bebas sekolah (deschooling society).
Menurut pendapatnya, selama ini pendidikan di
sekolah telah membelenggu
perkembangan pribadi dan masyarakat, oleh karena itu kalau masyarakat
mau maju harus dibebaskan dari sekolah, masyarakat akan berkembang melalui
jaringan belajar.
Belajar berlangsung sepanjang hayat, karena itu mitos bahwa belajar
hanya berlangsung di sekolah adalah keliru. Belajar yang sebenarnya berlangsung
lebih banyak di luar sekolah dan tanpa arahan guru. Obyek untuk pendidikan atau
sumber untuk memperoleh pengetahuan adalah perpustakaan, laboratorium, workshops,
galeri seni, dan lain-lain dimana ada tempat dan sarana yang memungkinkan untuk
belajar.
6.
Paulo Freire
Paulo Freire (1921 - 1997) adalah seorang ahli pendidikan Brazilia,
dan pernah menjabat sebagai sekretaris Departemen Pendidikan Kota Sao Paolo.
Dalam posisinya itu dia telah berusaha menerapkan teori dan konsep
pendikdikannya, yang banyak menghadapi tantangan dari mereka yang berpandangan
konservatif.
Menurut Freire pendidikan
adalah usaha memanusiakan
manusia, tujuan pendidikan
adalah pembebasan yang permanen.
Pembebasan permanen ini berlangsung dalam dua tahap : pertama tahap
kesadaran akan penindasan,
dan kedua membangun
kemantapan dengan aksi budaya yang membebaskan. Untuk itu semua pihak
harus berpartisipasi dalam pendidikan. Freire sangat prihatin dengan makin
lebarnya kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Sementara itu dia mengamati
bahwa sekolah telah menjadi elitis, dan terisolasi dengan masyarakat. Prinsip
dasar pendidikan menurut Freire adalah belajar bertolak dari realitas yang
nyata, kemudian dibawa dalam program pembelajaran, dan akhirnya kembali ke
realitas nyata dengan praksis baru.
7.
Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara (1889 - 1959) seorang tokoh pendidikan Indonesia
yang memprakarsai berdirinya lembaga pendidikan Taman Siswa. Dia lebih terkenal
dengan filsafat pendidikannya tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing
ngarsa sung tulada. Dewantara mengklasifikasikan tujuan pendidikan dengan
istilah tri-nga (tiga nga - nga adalah huruf terakhir dalam abjad Jawa Ajisaka).
Nga pertama adalah ngerti (memahami atau aspek intelektual), nga kedua ngrasa
(merasakan atau aspek afeksi), dan nga ketiga adalah nglakoni (mengerjakan atau
aspek psikomotorik). Rumusan ini telah
dilakukan sekitar 20 tahun
sebelum Bloom dkk.
merumuskan taksonomi tujuan pendidikan
yang meliputi aspek
kognitif, afektif dan
psikomotor.
Menurut Dewantara, adalah
hak tiap orang untuk mengatur diri sendiri, oleh karena itu pengajaran
harus mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batin, pikiran dan tenaga.
Pengajaran jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena hal itu
dapat memisahkan orang terpelajar dengan rakyat.
8.
Mohammad Syafei
Mohammad Syafei (1896 - 1969)
seorang tokoh pendidikan yang mendirikan sekolah Kayutanam di Sumatera
Barat. Dasar pendidikan menurut Syafei adalah : berpikir secara logis dan
rasional dan meninggalkan cara berpikir mistik dan takhayul; isi pendidikan
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat; dan kegunaan hasil pendidikan untuk
kemajuan masyarakat. Pendidikan harus berhasil menanamkan rasa percaya diri dan
berani bertanggung jawab. Menurut Syafei masyarakatlah yang menilai lulusan dan
memberikan “ijazah” atau pengakuan, jadi tidak perlu mengikuti aturan
pemerintah (zaman penjajahan Belanda) yang mendidik secara elitis untuk
kepentingan penjajahan.
Tokoh-tokoh pendidik tersebut
pada dasarnya menekankan
pada perlunya perhatian kepada
masing-masing peserta didik
yang berbeda karakteristiknya, pembawaannya, keinginannya,
dan potensinya. Untuk itu maka keseragaman pendekatan, perlu diubah menjadi
keragaman pendekatan.
Sedangkan teori, konsep dan prinsip pendidikan dari para tokoh yang
diungkap di atas, menunjukkan adanya sejumlah masalah pendidikan yang telah
ada sejak ratusan
tahun yang lalu,
perlu mendapat perhatian
dengan sungguh-sungguh.
1.
Gejala Dehumanisasi dalam Pendidikan
Gejala dehumanisasi ini berawal dari ketakutan yang tercipta dari
sistem pendidikan nasional Indonesia. Guru sudah terposisikan sebagai perangkat
dan sistem yang tidak cukup memberikan penghargaan bagi upaya pembaruan, namun
justru sangat menghargai tindakan pengukuhan aturan dan sistem. Cermin yang
menonjol adalah guru sebagai inovator dan pelopor perubahan di sekolah lebih
suka dengan hal-hal yang bersifat seremonial dan rutin ketimbang mengadakan
perubahan yang sifatnya mendasar.
Sertifikasi guru yang menjanjikan pemberian insentif dan perubahan
kesejahteraan disambut dengan gegap gempita di kalangan para guru, tidak peduli
bahwa tindakan itu diwarnai kecurangan penyediaan dokumen portofolio, stres
berkepanjangan, bahkan saking sibuk dengan urusan sertifikasi melupakan tugas
utamanya sebagai pendidik. Sekali lagi, guru begitu bersemangat jika perubahan
itu untuk diri mereka sendiri, sementara jika perubahan itu demi kemajuan pendidikan
dan peserta didik responnya setengah hati.
2.
Dampak Dehumanisasi Pendidikan
Maraknya kekerasan, praktik aborsi, pornografi, tawuran,
pelanggaran etika dan norma-norma sosial lain yang banyak terjadi di kalangan
pelajar menunjukan telah terjadi dehumanisasi pendidikan di hampir setiap
jenjang pendidikan. Kondisi itu terjadi sebagai bukti dari dampak orientasi
pendidikan yang belakangan hanya sebagai komoditas kekuasaan dan juga
kepentingan bisnis semata. Akibatnya:
a.
Proses pendidikan tidak hanya menjadikan guru sebagai instruktur
dan pawang semata, tetapi juga mengedepankan nilai kuantitas ketimbang
nilai-nilai kemanusiaan dalam barometer pembelajaran,
b.
Pendidikan lambat laun pun seiring mengarah pada komersialisasi
pendidikan. Ini misalnya, terjadi di hampir semua institusi pendidikan yang
melakukan pungutan-pungutan liar di luar biaya sekolah,
c.
Arah kebijakan pendidikan nasional saat ini pun seiring berubah,
yakni lebih mengedepankan aspek kuantitas ketimbang nilai-nilai humanisme
(kemanusiaan).
d.
Proses pembelajaran peserta didik yang hanya diukur melalui ujian
nasional (UN) untuk menentukan kelulusan seorang peserta didik, sehingga siswa
hanya dikejar dengan target-taget semata daripada pentingnya nilai etika dan
estetika
e.
Banyak siswa dan mahasiswa yang terjebak dalam kekerasan, juga
terjebak dalam degradasi moral, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Dari beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model
pembelajaran yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active
learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning.
1.
Humanizing of The Classroom
Model ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter,
tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang
akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di
Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh
John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”.
Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu
proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan
identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang
dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting
pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
2.
Active Learning
Dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun
dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi
otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan
keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu
aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari
gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka
pelajari.Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan
cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan
cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham,
dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh
pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus
adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan,
dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang
dapat diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran.
3.
Quantum Learning
Merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan
inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya,
quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan
neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning
mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya
secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga
sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar
secara berlipat-ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar
itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu
masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
Sedang quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang
monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan
memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan
kekuatan yang integral. Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem
perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode
penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu yang
sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini bersandar pada asas utama
bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita ke dunia mereka.
Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full content yang melibatkan
semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping
pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang.
Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni
(diorkestrasi).
4.
The Accelerated Learning
Merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari
pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat,
menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada
guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory,
Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving
and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by
talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual
diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan
mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and
reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).
Bobbi De Porter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan
siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal
dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak
tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan,
permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan
emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman
belajar yang efektif.
Dalam buku diuraikan dua model pembelajaran dalam pendekatan
humanistik, yaitu: model pengawasan diri, dan model reduksi tekanan jiwa.
1.
Model Pengawasan Diri
Dengan Mode-Mode Perilaku : Mengatur
Lingkungan Sekitar Sendiri
Model Pengawasan Diri adalah pola belajar yang dirancang untuk
melatih siswa mengenal prinsip-prinsip perilaku, melakukan pengawasan diri
sendiri untuk berperilaku yang baik. Rancangan pola belajar tersebut mengubah
keadaan lingkungan sehingga mendorong terjadinya perilaku baru yang
dikehendaki.
Pengajaran dengan model Pengawasan Diri mengenal empat kegiatan
sebagai berikut :
a.
Guru mengenalkan bahasa tentang pengawasan diri untuk berperilaku
lebih baik.
b.
Guru mengemukakan
prinsip-prinsip perilaku yang baik.
c.
Guru mengajak siswa untuk membuat program pengawasan diri.
d.
Guru meminta siswa untuk melaksanakan program pengawasan diri
sendiri.
Hubungan guru siswa dalam Model pengawasan Diri tergolong moderat,
yang secara berangsur menjadi semakin rendah. Perilaku hubungan tersebut
sebagai berikut :
a.
Guru mengemukakan aturan perilaku dalam melaksanakan program
b.
Guru meminta sisiwa melaksanakan program sendiri
c.
Guru semula melakukan pemantauan, tetapi kemudian mendorong siswa
melaksanakan pengawasan atas kegiatannya sendiri.
d.
Siswa melaksanakan penilaian atas perilaku dan programnya, dan kemudian
melakukan perbaikan atas perilaku programnya sendiri.
2.
Model Reduksi
Tekanan Jiwa : Suatu Prosedur Dasar
untuk Mengurangi Kegelisahan
Model Reduksi Tekanan Jiwa adalah pola belajar mengajar yang
dirancang untuk melatih siswa dapat mengganti perilaku yang tidak cocok dengan
perilaku yang baik, dapat mengurangi kegelisahan menjadi perilaku yang
menyenangkan, dan memiliki kebiasaan hidup sehat.
Pengajaran dengan Model Reduksi Tekanan Jiwa mengenal urutan
langkah sebagai berikut :
a.
Guru mengenalkan program dengan cara meminta siswa untuk duduk
secara santai, sehingga merasa nyaman dan senang.
b.
Menghangatkan suasanan menuju santai dengan cara menjelaskan
orientasi secara umum tentang jalannya pengajaran.
c.
Proses bersantai yang sebenarnya, guru memelihara kenyamanan,
kelembutan dan suasana harmonis.
d.
Proses mengakhiri persantaian, guru meminta siswa sepenuhnya
bersantai agar bebas dari ketegangan.
e.
Guru melaksanakan wawancara dan bertukar pikiran dengan siswa,
dalam kesempatan ini siswa berpendapat tentang proses pengajaran.
Hubungan guru siswa tergolog pada struktur tinggi. Hal ini terjadi
pada saat guru menghilangkan kegelisahan, kekecewaan. Sebagai ilustrasi siswa
diminta tenang dalam menghadapi ujian.
BAB III
DISKUSI
Pendidikan humanisme menjelaskan bahwa setiap diri manusia adalah
unik, memiliki potensi dan dorongan untuk berkembang dan menentukan
perilakunya. Dalam kaitan itu maka setiap diri manusia adalah bebas dan
memiliki kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang mencapai aktualisasi diri.
Sehingga jenis pendidikan yang terkesan mengekang peserta didiknya sangat tidak
dapat disetujui, karena hal tersebut hanya menciptakan generasi yang seragam
tanpa ada perbedaan. Dimana keseragaman memang diperlukan, namun perbedaan amat
lebih diperlukan dalam kehidupan ini.
Kami sangat setuju akan pendidikan yang memanusiakan manusia ini
dan proses dehumanisasi pendidikan memang harus segera dihentikan. Pembongkaran
dalam dunia pendidikan sangat diperlukan guna mencapai tujuan pokok dari
pendidikan itu sendiri, memanusiakan manusia. Proses ini tidak hanya berlaku
bagi lembaga pendidikan sebagai salah penunjang eksternal, namun juga harus
diterapkan pada proses pembelajarannya itu sendiri di sekolah. Oleh karena itu,
diperlukan kerja sama antar pihak yang terkait dalam dunia pendidikan.
Model pendidikan yang humanis dapat diwujudkan dengan banyak cara,
seperti humanizing of the classroom, active learning, quantum learning, quantum
teaching, dan the accelerated learning, yang mana telah dijelaskan sebelumnya.
Selain dengan metode-metode tersebut, masih banyak lagi metode lain yang dapat
membantu terwujudnya humanisasi pendidikan. Pemilihan metode-metode mengajar
tersebut bersifat kondisional, seperti pengaruh dari bagaimana lingkungan
sekolahnya, peserta didiknya, fasilitasnya, dan sebagainya.
Untuk menciptakan pendidikan yang humanis, kegiatan penghafalan
yang sering terjadi di sekolah tidaklah perlu dihilangkan, namun jangan sampai
menjadi beban bagi siswa. Dengan memberikan pemahaman kepada siswa, apa manfaat
dari penghafalan tersebut. Tidak hanya pemahaman akan manfaatnya, pendidik
dapat memperlihatkan kepada siswa bagaimana teori-teori tersebut dapat
diterapkan atau dapat menjadi penyelesaian dari persoalan-persoalan dalam
kehidupan sehari-hari. Bagaimana penyajian teori-teori tersebut bukan hanya
sekedar teori saja. Sehingga, praktik dan pengamatan dalam masyarakat maupun
dalam kehidupan siswa itu sangat dianjurkan sebagai bentuk pembebasan sekolah
dari proses dehumanisasi.
Menurut kami, salah satu metode yang baik untuk proses pendidikan
humanis adalah dengan metode pengajaran kembali yang dilakukan peserta didik.
Hal ini akan menumbuhkan rasa tanggungjawab dan kepuasan dalam diri peserta
didik karena mengetahui ilmu yang dia peroleh dapat disalurkan kepada orang
lain, apalagi bila orang yang diajar tersebut bisa memahami pembelajaran
darinya. Model seperti ini, mengajarkan kepada peserta didik bahwa ilmu itu
tidak harus disimpan sendiri (sebagaimana akibat dari kompetisi dalam dunia
pendidikan) dan tujuannya memang untuk dibagikan kepada yang lain.
Sebagai calon tenaga pendidik, tentulah lebih menyukai bila anak
didik dapat memahami pelajaran tanpa perlu terbebani sedikitpun. Semua metode
pengajaran yang ada itu sebenarnya baik, tergantung bagaimana kepiawaian dan
pembawaan dari tenaga didiknya sendiri. Oleh karenanya, calon pendidik haruslah
memperbanyak referensinya tentang teknik mengajar, agar tidak menyebabkan
dehumanisasi dalam pendidikan dengan metode pengajarannya yang statis. Karena
gairah untuk mendapatkan ilmu dari dalam diri peserta didik tidaklah bersifat
pribadi, melainkan perlu penyulut dari luar diri peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Kiftiah, M. (2011). Humanisasi
vs Dehumanisasi. Dipetik Juni 1, 2015, dari
http://mariatulkiftiah.blogspot.com/2011/03/humanisasi-vs-dehumanisasi.html?m=1
Nur,
A. (2011). Kembalikan Pendidikan sebagai Proses Humanisasi. Dipetik
Juni 1, 2015, dari
http://anan-nur.blogspot.com/2011/06/kembalikan-pendidikan-sebagai-proses.html?m=1
Wadika,
M. (2012). Pendekatan Pembelajaran Humanistik (Model Perilaku).
Dipetik Juni 1, 2015, dari http://mariswadika.blogspot.com/2012/01/pendekatan-pembelajaran-humanistik.html?m=1
Zuchdi,
D. (2008). Humanisasi Pendidikan (Vol. II). Yogyakarta: Bumi Aksara.