Minggu, 12 Juni 2016

Ilmu Pendidikan Islam : Humanisasi Pendidikan



Humanisasi artinya proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Sedangkan dehumanisasi mempunyai arti sebaliknya, yakni proses menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Dua istilah tersebut bermakna sebagai lawan kata.
Humanisasi pada dasarnya merupakan proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Jika dalam hubungannya dengan kesadaran manusia dan dunia pendidikan yang dilihat sebagai bentuk dominasi menganggap kesadaran manusia semata-mata merupakan wadah kosong yang harus diisi, sedangkan pendidikan sebagai praktik pembebasan dan humanisiasi memandang kesadaran sebagai suatu hasrat (intention) terhadap dunia.
Dehumanisasi merupakan suatu proses yang menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia,melainkan hanya bisa menirukan atau melaksanakan sesuatu yang di ukur dengan apa yang di milikinya dalam bentuk tertentu. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang pengertian humanisasi dan dehumanisasi, berikut ini akan diberikan contoh sederhana.
Ketika ada praktik pendidikan yang memberlakukan anak manusia sebagai burung beo, dimasukkan ke dalam kandang atau tempat yang berjeruji, dengan proses pelatihan agar anak manusia itu dapat menirukan atau dapat melaksanakan sesuai dengan instruksi tertentu, maka praktik pendidikan ini dapat dikategorikan sebagai proses dehumanisasi dalam pendidikan. Sama halnya dengan praktik pendidikan yang memandang anak manusia sebagai obyek didik, yang dapat diperintah seenaknya seperti robot dengan satu-satunya metode indotrinasi, yang memandang peserta didik sebagai masukan kasar (raw input) seperti halnya gandum yang akan diproses dalam proses produksi massal di sebuah pabrik roti, dan produksinya memiliki standar kualitas yang sama dan seragam, maka praktik pendidikan seperti itu sudah menjadi atau minimal dipengaruhi oleh proses dehumanisasi pendidikan. Jika proses pendidikan dilakukan tanpa memperhatikan perbedaan individual anak, baik perbedaan dari aspek fisik maupun mentalnya, maka proses pendidikan seperti itu dapat dikategorikan sebagai dehumanisasi pendidikan.
Jadi, sebenarnya praktik dehumanisasi boleh jadi tidak dalam bentuk kebijakan pemerintah, melainkan dapat saja muncul dari praktik pelaksanaan pembelajaran, atau dari proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sudah barang tentu, malpraktik pendidikan atau pelanggaran hak asasi manusia dalam pendidikan dapat disebut sebagai dehumanisasi dengan berbagai tingkatannya. Sebagaimana kita fahami selama ini, yang seharusnya pendidikan harus menjadi proses humanisasi manusia, karena manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat mendidik dan didik (educandum dan educabile).
Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini masih sering terjadi praktik pendidikan yang membelenggu kebebasan hakiki manusia. Tidak jarang juga terjadi praktik pendidikan yang memperlakukan anak didik tidak lebih sebagai pelayan dengan menempatkan posisi pendidik sebagai tuannya.

Pendidikan yang humanis adalah berfokus pada peserta didik, yaitu yang menghargai keragaman karakteristik mereka, berusaha mengembangkan potensi masing-masing dari mereka secara optimal, mengembangkan kecakapan hidup untuk dapat hidup selaras dengan kondisi pribadi dan lingkungan, memberikan bantuan untuk mengatasi kesulitan pribadi termasuk belajar, serta dengan menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan menilai kemajuan belajar mereka masing-masing.
Pendidikan adalah media kultural untuk membentuk manusia. Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Kata Driyarkara, pendidikan adalah humanisasi, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (humanior). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan jalur kultural. Tidak boleh ada model kapitalisasi pendidikan atau politisasi pendidikan. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan. Sebenarnya konsep pendidikan yang bercirikan humanis telah cukup banyak dikemukakan oleh para pendidik. Beberapa tokoh pendidikan humanis antara lain :
1.      Jan Komensky
Jan Komensky (Comenius 1592-1970) seorang pendidik yang berasal dari Moravia, dan memperoleh pendidikan tinggi di Jerman. Komensky berpendapat bahwa :
a.      Lingkungan sekolah harus didasarkan pada prinsip pertumbuhan dan perkembangan anak  secara  wajar,  dengan  memperbolehkan  berbagai  kegiatan  yang  sesuai;
b.      Pengajaran harus berlangsung dalam suasana yang menyenangkan, antara lain dengan menggunakan bahasa yang dikenal dan mempresentasikan obyek yang dikenal pula.
Pendapatnya ini antara lain diwujutkan dengan ditulisnya bukau Orbis Sensalium Pictus (Dunia dalam Gambar). Buku tersebut lebih banyak merupakan buku pelajaran bahasa, dengan memberikan rangsangan visual berupa gambar (misalnya gambar seseorang sedang memancing ikan) dengan penjelasan atas masing-masing obyek dalam gambar tersebut  dengan  istilah  Latin  dan  bahasa  keseharian.  Perlu  diperhatikan  bahwa Komensky menekankan pada perlunya ada rangsangan indera untuk belajar.
2.      Johann  Pestalozzi
Johann  Pestalozzi (1747 -1827)  adalah  seorang  pendidik Swiss  yang berpendapat bahwa pada hakekatnya semua manusia itu terlahir dengan baik, tetapi dapat rusak tertular oleh masyarakat yang koruptif, yang tercermin antara lain dengan sekolah tradisional yang membosankan dengan hanya menekankan pada pengulangan dan penghafalan. Sekolah tradisional harus dirombak; perombakan ini akan mampu menjembatani  perubahan  sosial.  Belajar  menurut  Pestalozzi  terjadi  karena  adanya rangsangan penginderaan. Ia juga berpendapat bahwa pembelajaran harus mengikuti perkembangan alamiah : konkrit ke abstrak, lingkungan dekat ke jauh, mudah ke sukar, gradual dan kumulatif.
3.      Friedrich Froebel
Friedrich Froebel (1782 - 1852) merupakan seorang pendidik Jerman yang sangat  dikenal  dengan  konsep  pendidikan  bagi  anak  usia  dini  yang  disebut kindergarten. Yang agak mengherankan kita adalah bahwa Froebel memulai karirnya sebagai seorang rimbawan, kimiawan, dan kemudian sebagai kurator musem, sebelum akhirnya terjun dalam dunia pendidikan.
Sejalan dengan Pestalozzi, Froebel menekankan pada perlunya perubahan dalam cara mengajar. Cara mengajar yang sebaiknya adalah yang berbasis pada aktivitas diri, karena itu perlu diciptakan dan dikelola lingkungan yang sesuai (termasuk bermain, menyanyi, menggambar, berkarya dsb. pada saat anak mulai mengikuti pendidikan). Kecuali itu pendidikan harus berlangsung dengan memperhatikan harga diri siswa, dan dengan memberikan contoh mengenai nilai-nilai luhur yang perlu dijunjung.
4.      John Dewey
John Dewey (1859 - 1952) dianggap sebagai Bapak pendidikan Amerika Serikat. Sebelumnya, praktek pendidikan di AS didasarkan pada konsep dan gagasan yang dilahirkan oleh ahli-ahli dari Eropa. Menurut Dewey, pendidikan merupakan proses sosial dimana  anggota  masyarakat  yang  belum  matang  (terutama  anak-anak)  diajak  ikut partisipasi dalam masyarakat.
Tujuan pendidikan adalah memberikan kontribusi dalam perkembangan  pribadi  dan  sosial  seseorang,  melalui  pengalaman  dan  pemecahan masalah yang berlangsung secara reflektif. Dewey juga terkenal dengan metode ilmiah yang dikenal dengan metode reflektif (reflective method). Metode itu berlangsung dengan langkah-langkah berikut :
a.      Pemelajar (learner) mempunyai pengalaman langsung dari keterlibatannya  dalam  suatu  kegiatan  yang  diminati;
b.      Berdasarkan  pengalaman tersebut  pemelajar  mempunyai  masalah  khusus  yang  merangsang  pikirannya;
c.      Pemelajar  mempunyai  atau  mencari  informasi  yang  diperlukan  untuk  memecahkan masalah tersebut;
d.      Pemelajar mengembangkan berbagai kemungkinan dan solusi tentatif untuk memecahkan masalah; dan
e.      Pemelajar menguji kemungkinan dengan jalan menerapkannya untuk memecakan masalah. Dan dengan demikian pemelajar akan menemukan sendiri keabsahan temuannya.
5.      Ivan Illich
Ivan Illich (1926 - 1990) adalah seorang imam Katolik yang semula bertugas membina umat pastoral warga Puerto Rico di kota New York. Ia merupakan kritikus pendidikan yang dianggap radikal. Sewaktu dia bertugas di Mexico, dia meluncurkan pendapatnya tentang masyarakat  bebas  sekolah (deschooling  society).  Menurut pendapatnya,  selama  ini pendidikan  di  sekolah  telah  membelenggu  perkembangan pribadi dan masyarakat, oleh karena itu kalau masyarakat mau maju harus dibebaskan dari sekolah, masyarakat akan berkembang melalui jaringan belajar.
Belajar berlangsung sepanjang hayat, karena itu mitos bahwa belajar hanya berlangsung di sekolah adalah keliru. Belajar yang sebenarnya berlangsung lebih banyak di luar sekolah dan tanpa arahan guru. Obyek untuk pendidikan atau sumber untuk memperoleh pengetahuan adalah perpustakaan, laboratorium, workshops, galeri seni, dan lain-lain dimana ada tempat dan sarana yang memungkinkan untuk belajar.
6.      Paulo Freire
Paulo Freire (1921 - 1997) adalah seorang ahli pendidikan Brazilia, dan pernah menjabat sebagai sekretaris Departemen Pendidikan Kota Sao Paolo. Dalam posisinya itu dia telah berusaha menerapkan teori dan konsep pendikdikannya, yang banyak menghadapi tantangan dari mereka yang berpandangan konservatif.
Menurut Freire pendidikan  adalah  usaha  memanusiakan  manusia,  tujuan  pendidikan  adalah  pembebasan yang permanen. Pembebasan permanen ini berlangsung dalam dua tahap : pertama  tahap  kesadaran  akan  penindasan,  dan  kedua  membangun  kemantapan dengan aksi budaya yang membebaskan. Untuk itu semua pihak harus berpartisipasi dalam pendidikan. Freire sangat prihatin dengan makin lebarnya kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Sementara itu dia mengamati bahwa sekolah telah menjadi elitis, dan terisolasi dengan masyarakat. Prinsip dasar pendidikan menurut Freire adalah belajar bertolak dari realitas yang nyata, kemudian dibawa dalam program pembelajaran, dan akhirnya kembali ke realitas nyata dengan praksis baru.

7.      Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara (1889 - 1959) seorang tokoh pendidikan Indonesia yang memprakarsai berdirinya lembaga pendidikan Taman Siswa. Dia lebih terkenal dengan filsafat pendidikannya tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada. Dewantara mengklasifikasikan tujuan pendidikan dengan istilah tri-nga (tiga nga - nga adalah huruf terakhir dalam abjad Jawa Ajisaka). Nga pertama adalah ngerti (memahami atau aspek intelektual), nga kedua ngrasa (merasakan atau aspek afeksi), dan nga ketiga adalah nglakoni (mengerjakan atau aspek psikomotorik). Rumusan  ini  telah  dilakukan  sekitar 20  tahun  sebelum  Bloom  dkk.  merumuskan taksonomi  tujuan  pendidikan  yang  meliputi  aspek  kognitif,  afektif  dan  psikomotor.
Menurut Dewantara, adalah   hak tiap orang untuk mengatur diri sendiri, oleh karena itu pengajaran harus mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batin, pikiran dan tenaga. Pengajaran jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena hal itu dapat memisahkan orang terpelajar dengan rakyat.
8.      Mohammad Syafei
Mohammad Syafei (1896 - 1969)  seorang tokoh pendidikan yang mendirikan sekolah Kayutanam di Sumatera Barat. Dasar pendidikan menurut Syafei adalah : berpikir secara logis dan rasional dan meninggalkan cara berpikir mistik dan takhayul; isi pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat; dan kegunaan hasil pendidikan untuk kemajuan masyarakat. Pendidikan harus berhasil menanamkan rasa percaya diri dan berani bertanggung jawab. Menurut Syafei masyarakatlah yang menilai lulusan dan memberikan “ijazah” atau pengakuan, jadi tidak perlu mengikuti aturan pemerintah (zaman penjajahan Belanda) yang mendidik secara elitis untuk kepentingan penjajahan.
Tokoh-tokoh  pendidik  tersebut  pada  dasarnya  menekankan  pada  perlunya perhatian  kepada  masing-masing  peserta  didik  yang  berbeda  karakteristiknya, pembawaannya, keinginannya, dan potensinya. Untuk itu maka keseragaman pendekatan, perlu diubah menjadi keragaman pendekatan.               Sedangkan teori, konsep dan prinsip pendidikan dari para tokoh yang diungkap di atas, menunjukkan adanya sejumlah masalah pendidikan yang  telah  ada  sejak  ratusan  tahun  yang  lalu,  perlu  mendapat  perhatian  dengan sungguh-sungguh.
1.      Gejala Dehumanisasi dalam Pendidikan
Gejala dehumanisasi ini berawal dari ketakutan yang tercipta dari sistem pendidikan nasional Indonesia. Guru sudah terposisikan sebagai perangkat dan sistem yang tidak cukup memberikan penghargaan bagi upaya pembaruan, namun justru sangat menghargai tindakan pengukuhan aturan dan sistem. Cermin yang menonjol adalah guru sebagai inovator dan pelopor perubahan di sekolah lebih suka dengan hal-hal yang bersifat seremonial dan rutin ketimbang mengadakan perubahan yang sifatnya mendasar.
Sertifikasi guru yang menjanjikan pemberian insentif dan perubahan kesejahteraan disambut dengan gegap gempita di kalangan para guru, tidak peduli bahwa tindakan itu diwarnai kecurangan penyediaan dokumen portofolio, stres berkepanjangan, bahkan saking sibuk dengan urusan sertifikasi melupakan tugas utamanya sebagai pendidik. Sekali lagi, guru begitu bersemangat jika perubahan itu untuk diri mereka sendiri, sementara jika perubahan itu demi kemajuan pendidikan dan peserta didik responnya setengah hati.
2.      Dampak Dehumanisasi Pendidikan
Maraknya kekerasan, praktik aborsi, pornografi, tawuran, pelanggaran etika dan norma-norma sosial lain yang banyak terjadi di kalangan pelajar menunjukan telah terjadi dehumanisasi pendidikan di hampir setiap jenjang pendidikan. Kondisi itu terjadi sebagai bukti dari dampak orientasi pendidikan yang belakangan hanya sebagai komoditas kekuasaan dan juga kepentingan bisnis semata. Akibatnya:
a.      Proses pendidikan tidak hanya menjadikan guru sebagai instruktur dan pawang semata, tetapi juga mengedepankan nilai kuantitas ketimbang nilai-nilai kemanusiaan dalam barometer pembelajaran,
b.      Pendidikan lambat laun pun seiring mengarah pada komersialisasi pendidikan. Ini misalnya, terjadi di hampir semua institusi pendidikan yang melakukan pungutan-pungutan liar di luar biaya sekolah,
c.      Arah kebijakan pendidikan nasional saat ini pun seiring berubah, yakni lebih mengedepankan aspek kuantitas ketimbang nilai-nilai humanisme (kemanusiaan).
d.      Proses pembelajaran peserta didik yang hanya diukur melalui ujian nasional (UN) untuk menentukan kelulusan seorang peserta didik, sehingga siswa hanya dikejar dengan target-taget semata daripada pentingnya nilai etika dan estetika
e.      Banyak siswa dan mahasiswa yang terjebak dalam kekerasan, juga terjebak dalam degradasi moral, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Dari beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model pembelajaran yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning.
1.      Humanizing of The Classroom
Model ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
2.      Active Learning
Dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran.
3.      Quantum Learning
Merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
Sedang quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral. Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).
4.      The Accelerated Learning
Merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).
Bobbi De Porter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.
Dalam buku diuraikan dua model pembelajaran dalam pendekatan humanistik, yaitu: model pengawasan diri, dan model reduksi tekanan jiwa.
1.      Model Pengawasan Diri
Dengan Mode-Mode Perilaku : Mengatur Lingkungan Sekitar Sendiri
Model Pengawasan Diri adalah pola belajar yang dirancang untuk melatih siswa mengenal prinsip-prinsip perilaku, melakukan pengawasan diri sendiri untuk berperilaku yang baik. Rancangan pola belajar tersebut mengubah keadaan lingkungan sehingga mendorong terjadinya perilaku baru yang dikehendaki.
Pengajaran dengan model Pengawasan Diri mengenal empat kegiatan sebagai berikut :
a.      Guru mengenalkan bahasa tentang pengawasan diri untuk berperilaku lebih baik.
b.      Guru   mengemukakan prinsip-prinsip perilaku yang baik.
c.      Guru mengajak siswa untuk membuat program pengawasan diri.
d.      Guru meminta siswa untuk melaksanakan program pengawasan diri sendiri.
Hubungan guru siswa dalam Model pengawasan Diri tergolong moderat, yang secara berangsur menjadi semakin rendah. Perilaku hubungan tersebut sebagai berikut :
a.      Guru mengemukakan aturan perilaku dalam melaksanakan program
b.      Guru meminta sisiwa melaksanakan program sendiri
c.      Guru semula melakukan pemantauan, tetapi kemudian mendorong siswa melaksanakan pengawasan atas kegiatannya sendiri.
d.      Siswa melaksanakan penilaian atas perilaku dan programnya, dan kemudian melakukan perbaikan atas perilaku programnya sendiri.
2.      Model Reduksi
Tekanan Jiwa : Suatu Prosedur Dasar untuk Mengurangi Kegelisahan
Model Reduksi Tekanan Jiwa adalah pola belajar mengajar yang dirancang untuk melatih siswa dapat mengganti perilaku yang tidak cocok dengan perilaku yang baik, dapat mengurangi kegelisahan menjadi perilaku yang menyenangkan, dan memiliki kebiasaan hidup sehat.
Pengajaran dengan Model Reduksi Tekanan Jiwa mengenal urutan langkah sebagai berikut :
a.         Guru mengenalkan program dengan cara meminta siswa untuk duduk secara santai, sehingga merasa nyaman dan senang.
b.         Menghangatkan suasanan menuju santai dengan cara menjelaskan orientasi secara umum tentang jalannya pengajaran.
c.         Proses bersantai yang sebenarnya, guru memelihara kenyamanan, kelembutan dan suasana harmonis.
d.         Proses mengakhiri persantaian, guru meminta siswa sepenuhnya bersantai agar  bebas dari ketegangan.
e.         Guru melaksanakan wawancara dan bertukar pikiran dengan siswa, dalam kesempatan ini siswa berpendapat tentang proses pengajaran.
Hubungan guru siswa tergolog pada struktur tinggi. Hal ini terjadi pada saat guru menghilangkan kegelisahan, kekecewaan. Sebagai ilustrasi siswa diminta tenang dalam menghadapi ujian.


BAB III

DISKUSI

Pendidikan humanisme menjelaskan bahwa setiap diri manusia adalah unik, memiliki potensi dan dorongan untuk berkembang dan menentukan perilakunya. Dalam kaitan itu maka setiap diri manusia adalah bebas dan memiliki kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang mencapai aktualisasi diri. Sehingga jenis pendidikan yang terkesan mengekang peserta didiknya sangat tidak dapat disetujui, karena hal tersebut hanya menciptakan generasi yang seragam tanpa ada perbedaan. Dimana keseragaman memang diperlukan, namun perbedaan amat lebih diperlukan dalam kehidupan ini.
Kami sangat setuju akan pendidikan yang memanusiakan manusia ini dan proses dehumanisasi pendidikan memang harus segera dihentikan. Pembongkaran dalam dunia pendidikan sangat diperlukan guna mencapai tujuan pokok dari pendidikan itu sendiri, memanusiakan manusia. Proses ini tidak hanya berlaku bagi lembaga pendidikan sebagai salah penunjang eksternal, namun juga harus diterapkan pada proses pembelajarannya itu sendiri di sekolah. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antar pihak yang terkait dalam dunia pendidikan.
Model pendidikan yang humanis dapat diwujudkan dengan banyak cara, seperti humanizing of the classroom, active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning, yang mana telah dijelaskan sebelumnya. Selain dengan metode-metode tersebut, masih banyak lagi metode lain yang dapat membantu terwujudnya humanisasi pendidikan. Pemilihan metode-metode mengajar tersebut bersifat kondisional, seperti pengaruh dari bagaimana lingkungan sekolahnya, peserta didiknya, fasilitasnya, dan sebagainya.
Untuk menciptakan pendidikan yang humanis, kegiatan penghafalan yang sering terjadi di sekolah tidaklah perlu dihilangkan, namun jangan sampai menjadi beban bagi siswa. Dengan memberikan pemahaman kepada siswa, apa manfaat dari penghafalan tersebut. Tidak hanya pemahaman akan manfaatnya, pendidik dapat memperlihatkan kepada siswa bagaimana teori-teori tersebut dapat diterapkan atau dapat menjadi penyelesaian dari persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana penyajian teori-teori tersebut bukan hanya sekedar teori saja. Sehingga, praktik dan pengamatan dalam masyarakat maupun dalam kehidupan siswa itu sangat dianjurkan sebagai bentuk pembebasan sekolah dari proses dehumanisasi.
Menurut kami, salah satu metode yang baik untuk proses pendidikan humanis adalah dengan metode pengajaran kembali yang dilakukan peserta didik. Hal ini akan menumbuhkan rasa tanggungjawab dan kepuasan dalam diri peserta didik karena mengetahui ilmu yang dia peroleh dapat disalurkan kepada orang lain, apalagi bila orang yang diajar tersebut bisa memahami pembelajaran darinya. Model seperti ini, mengajarkan kepada peserta didik bahwa ilmu itu tidak harus disimpan sendiri (sebagaimana akibat dari kompetisi dalam dunia pendidikan) dan tujuannya memang untuk dibagikan kepada yang lain.
Sebagai calon tenaga pendidik, tentulah lebih menyukai bila anak didik dapat memahami pelajaran tanpa perlu terbebani sedikitpun. Semua metode pengajaran yang ada itu sebenarnya baik, tergantung bagaimana kepiawaian dan pembawaan dari tenaga didiknya sendiri. Oleh karenanya, calon pendidik haruslah memperbanyak referensinya tentang teknik mengajar, agar tidak menyebabkan dehumanisasi dalam pendidikan dengan metode pengajarannya yang statis. Karena gairah untuk mendapatkan ilmu dari dalam diri peserta didik tidaklah bersifat pribadi, melainkan perlu penyulut dari luar diri peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA

Kiftiah, M. (2011). Humanisasi vs Dehumanisasi. Dipetik Juni 1, 2015, dari http://mariatulkiftiah.blogspot.com/2011/03/humanisasi-vs-dehumanisasi.html?m=1
Nur, A. (2011). Kembalikan Pendidikan sebagai Proses Humanisasi. Dipetik Juni 1, 2015, dari http://anan-nur.blogspot.com/2011/06/kembalikan-pendidikan-sebagai-proses.html?m=1
Wadika, M. (2012). Pendekatan Pembelajaran Humanistik (Model Perilaku). Dipetik Juni 1, 2015, dari http://mariswadika.blogspot.com/2012/01/pendekatan-pembelajaran-humanistik.html?m=1
Zuchdi, D. (2008). Humanisasi Pendidikan (Vol. II). Yogyakarta: Bumi Aksara.